Uncategorized

Opini : Demo Anarkis : Siapa Dalang Penumpang Gelap?

Oleh: dr.Zamir Alvi,SH,MH.Kes/Wakil Ketua DPP KNPI

Iniklik.com - Gelombang unjuk rasa yang mewarnai sejumlah kota besar yang baru terjadi dan diikuti tindakan anarkis serta penjarahan tak bisa dibaca sekadar sebagai letupan spontan akibat kebijakan pemerintah yang tidak populer. Demo yang semula berlangsung damai dalam menyuarakan keresahan masyarakat atas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada wong cilik dan ketidak adilan yang kerap terjadi pada masyarakat serta gaya hidup hedon pejabat, dengan cepat membelok ke arah kekerasan dan anarki. Fasilitas umum dirusak, kendaraan dibakar, aparat dan warga sipil terluka. Situasi ini menimbulkan pertanyaan krusial: siapa yang mengambil keuntungan dari kekacauan ini? Siapa dalang penumpang gelap di balik kerusuhan?

Dalam demokrasi, demonstrasi adalah bagian sah dari ekspresi politik warga. Ia bukan sekadar simbol kebebasan, tapi juga mekanisme koreksi terhadap kekuasaan. Namun ketika aspirasi itu disusupi oleh kekerasan, narasi pun dengan cepat berubah: dari perlawanan sipil menjadi ancaman keamanan. Dan celakanya, yang paling pertama jadi korban bukanlah provokator, melainkan para demonstran itu sendiri.

Pola ini bukan barang baru. Dalam sejarah demonstrasi di Indonesia, kerap muncul aktor-aktor tak dikenal yang menyusup ke dalam aksi. Mereka tidak mengusung tuntutan yang sama, tidak berasal dari jaringan sipil, dan tidak pernah terlibat dalam konsolidasi massa. Mereka datang untuk menciptakan kekacauan—dan pergi sebelum pertanggungjawaban dimintakan. Jejak mereka kabur, tapi kerusakan yang ditinggalkan nyata.

Alih-alih mengusut siapa para penyusup ini, negara justru sering memilih pendekatan represif terhadap seluruh peserta aksi. Aparat menggunakan kekerasan, gas air mata, hingga penangkapan massal, tanpa membedakan mana demonstran damai dan mana perusuh. Framing "demo anarkis" pun menjelma jadi alat pembenaran atas kekerasan negara. Persoalan utama—penumpang gelap dan provokator—dibiarkan mengendap tanpa penyelesaian.

Dalam konteks ini, penting untuk menyorot siapa sebenarnya yang diuntungkan dari kekacauan ini. Apakah ada kelompok politik yang sengaja menciptakan instabilitas untuk menggoyang kekuasaan? Atau sebaliknya, apakah kekacauan ini sengaja dipelihara agar publik menjauh dari gerakan protes dan delegitimasi terhadap aspirasi massa bisa dilakukan dengan mudah? Dua-duanya bukan sekadar teori. Dalam praktik politik di negara-negara lain, skenario semacam ini kerap digunakan untuk menjustifikasi represi dan mempersempit ruang sipil.

Kita tak bisa terus-menerus menormalkan bahwa setiap demonstrasi besar pasti berujung ricuh. Publik perlu cermat memilah: mana suara rakyat yang tulus, mana provokasi yang ditunggangi. Media massa harus bersikap kritis, tidak sekadar mengutip keterangan pers aparat, tapi juga menggali suara dari lapangan. Dan negara, melalui aparat keamanan dan intelijennya, punya kewajiban untuk membongkar siapa aktor intelektual di balik kekerasan ini.

Jika pola ini terus dibiarkan, maka demokrasi kita sedang berjalan mundur. Demonstrasi sebagai alat kontrol akan ditakuti. Rakyat akan bungkam bukan karena puas, tapi karena trauma. Dan di tengah kebisuan itu, para penumpang gelap terus bekerja dalam bayang-bayang, menyetir arah sejarah tanpa akuntabilitas.

Demo anarkis ini harus menjadi alarm. Negara tak boleh lagi menutup mata terhadap praktik penyusupan yang merusak wajah demokrasi. Demonstran bukan musuh negara. Justru dalang kekacauanlah yang seharusnya jadi target utama penegakan hukum. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat: demokrasi bukan dibunuh oleh oposisi, melainkan oleh ketidakmauan negara mengusut yang tak terlihat.

2 1 vote
Article Rating

Related Articles

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Back to top button