
Oleh: Eka Subakti, S.E
[ Ketua DPW Forum BUMDes Indonesia Sumatera Selatan]
Pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato monumental di hadapan sidang BPUPKI yang menjadi dasar kelahiran Pancasila. Dalam pidato itu, ia menyampaikan tiga pokok pemikiran: Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Pidato itu bukan sekadar catatan sejarah, melainkan arah gerak bangsa yang terus relevan hari ini—terutama dalam upaya membangun ekonomi dari desa.
*Imperialisme dan Kemiskinan Struktural*
Bung Karno menegaskan bahwa imperialisme adalah sumber penderitaan dan kemiskinan dunia. Hari ini, wajah imperialisme berubah bentuk menjadi dominasi pasar global, kekuatan oligarki ekonomi, dan ketimpangan akses terhadap sumber daya. Desa-desa Indonesia kerap menjadi korban eksploitasi ini: kaya sumber daya, tapi miskin hasil dan kuasa.
*BUMDesa dan KopDes Merah Putih: Wadah Transformasi*
Sebagai respon, negara hadir lewat penguatan lembaga ekonomi desa: BUMDesa (Badan Usaha Milik Desa) dan melalui inpres No. 9 tahun 2025 Presiden Prabowo Subianto mengagas pendirian Koperasi Desa Merah Putih (KopDes) sebagai wujud nyata ekonomi gotong royong. Program Kementerian Desa PDTT bahkan menugaskan BUMDesa mengelola 20% Dana Desa tahun 2025 untuk program ketahanan pangan. Ini adalah langkah penting untuk mendorong desa berdikari dan mandiri secara ekonomi.
Namun tantangannya besar. Banyak BUMDesa belum sepenuhnya menjadi alat perjuangan rakyat desa. Beberapa masih bersifat proyek jangka pendek, tidak berkelanjutan, bahkan belum paham arah gerak ideologis yang seharusnya menjadi dasar kerja mereka.
*Pancasila Sebagai Bintang Penunjuk Arah*
Di sinilah pentingnya menjadikan Pancasila sebagai Leichstar—bintang penunjuk arah. Pancasila bukan sekadar dokumen formal negara, melainkan panduan moral dan strategis dalam mengelola ekonomi desa secara adil, transparan, dan kolaboratif. Pengurus BUMDesa, BUMDesa Bersama, maupun KopDes Merah Putih harus menyadari bahwa mereka memegang tugas sejarah: melanjutkan revolusi nasional demokratis melalui transformasi ekonomi desa.
Mereka tidak sekadar mengelola usaha, tapi membangun harapan dan masa depan rakyat desa. Usaha yang mereka jalankan—perikanan, pertanian, pengolahan hasil bumi, energi terbarukan, atau distribusi pangan—harus mengabdi pada tujuan besar: menghapus kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan membangun kedaulatan ekonomi dari bawah.
*Kesadaran Ideologis adalah Kunci*
Untuk itu, pengelola BUMDesa dan BUMDesa Bersama dan Pengurus, Pengawas Koperasi Desa Merah Putih perlu dibekali bukan hanya pelatihan manajerial, tetapi juga kesadaran ideologis. Tanpa Pancasila sebagai pijakan nilai, usaha ekonomi bisa tergelincir menjadi sekadar mesin uang atau ladang kepentingan. Materi tentang sejarah lahir nya Pancasila WAJIB di masuk kan dalam modul Pelatihan Pengelola BUMDesa dan Pengurus Koperasi Desa Merah Putih. Hal ini sekaligus implementasi dari Asta Cita ke satu Prabowo Gibran.
Pancasila harus menjadi jiwa di balik setiap keputusan: dari musyawarah pengambilan kebijakan, pembagian hasil usaha, hingga hubungan antara desa dan pihak luar. Nilai-nilai gotong royong, keadilan sosial, kemanusiaan, dan keberpihakan pada yang lemah harus hidup nyata dalam praktik ekonomi desa.
*Menjemput Masa Depan, Mulai dari Desa*
Dengan 65.439 BUMDesa dan BUMDesa Bersama yang berdiri di seluruh Indonesia dan puluhan ribu KopDes Merah Putih yang sedang dibentuk, ini adalah momentum besar. Jika arah langkahnya benar, desa akan menjadi pusat perubahan. Tapi jika salah arah, peluang emas ini bisa hilang begitu saja.
Pancasila adalah cahaya yang tak boleh padam. Ia adalah bintang penunjuk jalan di tengah gelapnya krisis sosial dan ekonomi. BUMDesa dan KopDes Merah Putih yang berpijak pada Pancasila akan menjadi lokomotif pembangunan yang bukan hanya menyejahterakan desa, tetapi juga menyelamatkan bangsa dari ketimpangan dan ketergantungan.
"Dengan menjadikan Pancasila sebagai Leichstar, desa bukan lagi objek pembangunan, tapi subjek revolusi ekonomi Indonesia,"katanya.