Pembangunan Indonesia Dinilai Lupa Membahagiakan Rakyat

Jakarta ,JS– Di tengah deretan capaian pembangunan nasional yang terus meningkat, mulai dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) hingga rata-rata lama sekolah dan pendapatan per kapita, muncul pertanyaan mendasar: apakah rakyat Indonesia benar-benar bahagia?
Hal itu disampaikan oleh dr. Zamir Alvi, SH, MH.Kes, Pengurus DPP Gerakan Cinta Prabowo, dalam opininya berjudul “Pembangunan yang Lupa Membahagiakan”. Ia menyoroti bahwa pembangunan selama ini terlalu berfokus pada angka dan statistik, namun belum sepenuhnya memperhatikan kesejahteraan batin masyarakat.
> “Pemerintah menepuk dada atas capaian IPM yang mencapai 75,02 pada 2024. Namun, apakah rakyat merasa bahagia?,” ujarnya.
Menurut Zamir, meski IPM Indonesia meningkat, indeks kebahagiaan nasional justru stagnan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), skor Indeks Kebahagiaan Indonesia hanya naik dari 70,69 pada tahun 2017 menjadi 71,49 pada 2021. Sementara dalam laporan World Happiness Report 2025, Indonesia berada di peringkat 83 dari 143 negara, dengan skor 5,617.
“Statistik membaik, tapi perasaan masyarakat stagnan. Ini ironi dalam pembangunan,” tambahnya.
Zamir juga menyoroti perbedaan antara masyarakat kota dan desa dalam memaknai kebahagiaan. Berdasarkan survei yang ia kutip, 82 persen masyarakat kota menyatakan dirinya cukup bahagia dan 14 persen sangat bahagia. Sementara di desa, 77 persen cukup bahagia dan hanya 10 persen sangat bahagia.
Namun, ia mengingatkan agar tidak serta-merta menyimpulkan bahwa kota adalah tempat paling ideal untuk hidup. Di perkotaan, kebahagiaan lebih banyak ditopang oleh akses layanan publik dan hiburan, tetapi tekanan hidup, polusi, dan stres sosial juga tinggi. Sebaliknya, di pedesaan, meski kepuasan personal lebih rendah, rasa aman dan hubungan sosial antarwarga jauh lebih kuat.
Zamir menilai, Indonesia masih kekurangan data mutakhir terkait kondisi kebahagiaan masyarakat pasca-2021. “Ketiadaan survei besar yang menggambarkan kebahagiaan rakyat menunjukkan bahwa aspek ini belum dianggap penting dalam perencanaan pembangunan,” ujarnya.
Ia menyerukan agar arah pembangunan nasional bergeser — dari sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur menuju pembangunan yang juga menumbuhkan ketenangan, kesehatan mental, dan hubungan sosial yang harmonis.
> “Pembangunan yang mengabaikan kebahagiaan sama saja dengan menciptakan masyarakat yang berfungsi, tapi tidak hidup,” tegas Zamir.
Ia menutup dengan pesan reflektif: jika Indonesia ingin benar-benar maju, maka ukuran keberhasilan pembangunan tak lagi hanya diukur dari tinggi rendahnya IPM, tetapi juga dari kedamaian dan kebahagiaan rakyat dalam menjalani hidupnya.
---



